BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Negara yang terdiri dari beragam suku
bangsa dan budaya yang berbeda dan mempunyai cirri khas masing-masing yang unik
pula, berdasarkan pada kegiatan yang telah terjadi secara turun temurun dan
mendarah daging di masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah budaya Nadran (Sedekah Laut) pada
masyarakat pesisir pantai di Jawa Barat, merupakan bentuk dari budaya asli
masyarakat Indonesia yang telah ada sejak dulu hingga sekarang. Sebagai salah
satu warisan budaya nenek moyang.
Namun di era pesatnya globalisasi saat
ini, budaya-budaya local seperti Nadran (SedekahLaut) sangat rentan tersingkir
dan hilang dari kebudayaan nasional, diakibatkan banyaknya pengaruh dari
budaya-budaya asing yang masuk dan kian hari kian memperburuk kondisi
kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada.
Oleh
karena itu saya ingin menyoroti sebuah tempat di pesisir pantai kota
Cirebon yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya lokalnya, khususnya budaya
Nadran (Sedekah Laut) yang saat ini hamper dilupakan dan pudar dikarenakan
semakinsedikitnya masyarakat yang mengerti dan memahami makna yang terkandung
dalam prosesi Nadran yang selama ini hanya dianggap sebagai pesta rakyat tanpa
filosofi yang ada didalamnya. Sehingga diperlukan media dan sarana yang memadai
untuk (Sedekah Laut).
Daerah pesisir panta ikota Cirebon
merupakan salah satu tempat yang masih mempertahankan dan melestarikan budaya
Nadran (Sedekah Laut), agar kita tidak hanya bisa merayakannya saja tetapi juga
tahu akan makna dan filosofinya.
Upacara sedekah laut ini juga
dilakukan oleh masyarakat Indramayu dan Subang. Dalam perkembangannya tradisi
upacara Nadran tidak hanya berkembang di masyarakat Cirebon saja.
Upacara Nadran adalah upacara adat
masyarakat pesisir Cirebon untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas
karunia dan rizki yang telah diberikan kepada masyarakat setempat. Selain itu,
upacara Nadran merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur mereka, kepada
penguasa laut agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka. Upacara
Adat Nadran dilakukan setahun sekali kisaran bulan Juli s.d. Agustus.
Nadran memiliki arti janji atau rasa
syukur. Nadran berasal dari kata nazar dalam bahasa Arab yang memiliki arti
janji. Janji atau rasa syukur masyarakat pesisir Cirebon atas rezeki yang telah
dilimpahkan yang maha kuasa kepada mereka. Secara turun temurun, upacara Nadran
adalah upacara yang lahir dari akulturasi agama Islam dan Hindu. Perpaduan
tersebut menciptakan upacara Nadran.
Upacara Nadran yang dilakukaan setiap
setahun sekali oleh masyarakat Cirebon mempunyai nilai-nilai filosofi yang
kuat. Nilai-nilai yang terbangun dari upacara tersebut adalah solidaritas,
etis, kultural dan religius yang tercipta dari simbol-simbol yang ada dalam
upacara tersebut.
Nilai-nilai kebersamaan yang ada dalam
upacara Nadran ini menjadi sebuah dorongan ke depan untuk membangun masyarakat
yang menjalankan nilai-nilai kebersamaan dan kepatuhan terhadap yang maha
kuasa.
Sehubungan dengan hal itu observasi
Nadran (Sedekah Laut) ini diharapkan dapat menjadi sumber bacaan yang berguna
untuk masyarakat dan generasi muda kita agar lebih mencintai dan melestarikan
nilai-nilai budaya yang ada.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut
rumusan masalah dari penelitian ini :
1.
Bagaimana sejarah perkembangan Nadran (Sedekah Laut) di daerah ?
2.
Mengapa Nadran (Sedekah Laut) sekarang ini semakin pudar ?
3.
Bagaimana cara memelihara Nadran dari arus globalisasi ?
1.3 Keterbatasan Masalah
Batasan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Objek yang akan di jadikan penelitian
ini adalah Desa Mertasinga.
2.
Subyek yang akan di jadikan penelitian
ini adalah masyarakat Desa Mertasinga.
1.4 Tujuan
Dalam
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk
memberikan informasi dan pengetahuan yang penting mengenai kebudayaan lokal
Cirebon.
2. Untuk
mengetahui informasi sejarah perkembangan Nadran (Sedekah Laut).
3. Untuk
mengetahui mengapa Nadran sekarang ini semakin pudar.
4. Untuk
mengetahui cara memelihara Nadran dari arus globalisasi.
1.5 Manfaat
Manfaat
teoritis :
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya
dapat berguna sebagai informasi dan pengetahuan mengenai Nadran (Sedekah Laut) yang
ada di Desa Mertasinga.
Manfaat
praktis :
a.
Bagi Penulis
Menambah
wawasan penulis mengenai kebudayaan lokal yang ada di Cirebon, khususnya Nadran
(Sedekah Laut).
b.
Bagi warga Desa Mertasinga
Sebagai masukan
untuk tetap dapat melaksanakan Acara Nadran (Sedekah Laut), khususnya dalam
mempererat tali silaturahmi.
BAB II
KAJIAN TEORI
4.1 PENGERTIAN BUDAYA DAN
KEBUDAYAAN
Menurut pendapat Koentjaraningrat
(2002: 181) kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang bererti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan
dapat diartikan: “hal=hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang
mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budidaya, yang
berarti “daya dari budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dari
“kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta,
karsa dan rasa itu. Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu
ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanyan dipakai sebagai suatu singkatan saja dari
“kebudayaan” dengan arti yang sama.
Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan yaitu segala sesuatu yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Budaya dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku
manusia yang secara perorangan atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang
dapat mempengaruhi kehidupan yang damai dan tentram, sejahtera dalam arti bahwa
semua dapat hidup sehat di atas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik,
ras dan jenis kelamin, tidak mencemari dan merusak lingkungan, tidak meracuni
sumber daya alam terbaharukan, yang secara demokratis menjunjung tinggi hak dan
kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan
keinginan. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi, religi,seni dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat budaya digunakan dalam berbagai aspek, antara lain:
1. Budaya
sebagai faktor dalam konflik.
Ketika
ada konflik politik, sosial, maka budaya akan muncul sebagai faktor yang harus
diakui untuk itu dalam menyelesaikan konflik maka dibutuhkan pengetahuan
tentang budaya lokal/setempat, bagaimana
kehidupan beragama, bermasyarakat. Namun perlu dipahami bahwa budaya
lokal tersebut seiring dengan perkembangan zaman mengalami interfensi baik internal
dan eksternal. Untuk itu perlu disadari bahwa budaya konflik sebenarnya sudah
ada sejak dulu, baik antar pribadi dengan pribadi maupun kelompok dengan
kelompok.
2. Budaya
sebagai sumber daya untuk perdamaian.
Berbagai
tradisi yang baik tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, seperti:Pela Gandong,
Ai Wai, Sasi, dan lain-lain. Ada budaya yang dilembagakan seperti: Duan Lolat
dalam mengatasi masalah “perkawinan, kelahiran, kematian, pembangunan, dan
lain-lain”. Banyak lagi contoh yang perlu kita angkat yang berkembang secara
turun temurun dan telah diuji sebagai nilai dan norma yang hidp dan berkembang.
3. Budaya,
komunikasi dan perselisihan.
Bila
terdapat perbedaan budaya dalam masyarakat akan menimbulkankonflik. Hal ini
dipandang perlu untuk mengembangkan komunikasi antar kelompok yang berbeda agar
timbul saling pengertian. Konflik terjadi karena komunikasi tidak ada, maka
muncul curiga, iri hati, dendam dan sebagainya.
4. Kesalahpahaman
karena budaya.
Sering
terjadi konflik dimana-mana antar etnik yang berbeda budaya, seperti Afrika
Selatan antar suku yang berkulit hitam dan putih atau Budaya Barat dan Budaya
Timur, Islam dan Kristen, suku dengan suku lain, atau karena tergusurnya orang
asli dan pendatang, dan lain-lain.
5. Hak-hak
asasi dan budaya.
Sering
kita tidak dapat memahami dan mengerti mana hak-hak pribadi/individu seseorang
dan norma, nilai dan hak-hak universal/umum. Sering terjadi pemaksaan keinginan
pribadi terhadap kepentingan bersama. Hak-hak pribadi seperti hak untuk hidup
yang layak: makan, minum, rumah, pakaian dan lain-lain. Hak-hak umumseperti hak
untuk mendapat pelayanan umum seperti: pendidikan, kesehatan, listrik, air,
telepon, dan lain-lain. Semua hak itu hendaknya dilembagakan dengan aturan yang
jelas agar tidak terjadi konflik.
6.
Agama dan budaya.
Agama
mengajarkan tentang iman kepercayaan dimana kesadaran manusia akan adanya Tuhan
Yang Maha Esa dan manusia serta Alam Ciptaan Tuhan sebagai satu persatuan dan
kesatuan antara Tuhan dan manusia. Sering terjadi konflik antara agama dan
budaya dimana agama banyak memberi hukuman terhadap pelanggaran berupa non
fisik atau hukuman mosil, sementara budaya dan adat istiadat lokal banyak
menyoroti hukuman berupa fisik atas sebuah pelanggaran atau konflik. Adanya
pengakuan bahwa agam lebih dari segalanya (sekularisasi) seperti Roma sebagai negara
agam, Arab sebagai negara agama namun ada juga yang menganggap bahwa budaya
adalah yang utama seperti Bali, Suku Badui dan sebagainya, sering terjadi
karena adanya anggapan adanya kelompok mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu,
regulasi aturan baik tentang batasan agama dan budaya harus jelas dipahami,
seperti adanya ajaran tentang “toleransi”.
4.2 SEJARAH TRADISI NADRAN
MASYARAKAT CIREBON
4.2.1
TRADISI NADRAN PRA ISLAM
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani
Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya
Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya
Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal
pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara
yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu,
memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab.
Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat
Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya
tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu
memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu
ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga
tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai
Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara
sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di
belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi
dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan
sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber
Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah
tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi
ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda,
seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa
kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka
berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui
dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak
dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau sebagai
persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak,
juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu,
sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi
dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah
pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan
memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk
memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam
mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk
ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan
mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala
permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di
tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme,
yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain
dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang
dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air
kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga
Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar
dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu,
masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada
kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan
mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah
penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah
ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk
laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan
jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra
disiramkan pada layar perahu nelayan (Prawiraredja,2005:164).
Meskipun Nadran bernuansa magis dan
animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik
terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan
bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
4.2.2 TRADISI NADRAN
SETELAH KEDATANGAN ISLAM
Tradisi-tradisi Nadran setelah
kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada
Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai
sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada
para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan
yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti
dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil
bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa
dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011).
Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap
dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna
pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk
mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga
perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga nampak dalam
pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek
Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang
bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau
lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad
Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah
Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan
Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam
tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan
penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan,
yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang
kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif
(Dahuri,2004:218).
4.2.3
TRADISI NADRAN DEWASA INI
Proses pelaksanaan tradisi Nadran di
kali Bondet berdasarkan cerita masyarakat setempat dari dulu hingga sekarang
adalah sama dan hampir tidak ada perubahan berarti kalaupun ada hanya proses
kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan dengan tingkat kemampuan para
nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta dilapangan disetiap tahunnya
hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya yang berdekatan dengan kali
Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan mengelar berbagai hiburan tambahan
selain hiburan utama, bahkan para pedagang pun tak ketinggalan dari pintu masuk
jalan raya sampai ke pusat kegiatan (biasanya di TPI KUD Mina Waluya Desa
Bondet) disesaki berbagai macam para pedagang dan hiburan tambahan lainnya
seperti permainan modern.
Menurut Dr. Heriyani Agustina, bahwa
dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih terlihat sebagai upaya pelestarian
tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Ia sering kehilangan
ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan
pesan-pesan moral para pendahulunya, terutama tokoh-tokoh Islam dan para
pendiri Cirebon yang tersirat melalui simbol-simbol tradisi. Bahkan ketika
menampilkan lakon para sufi atau para wali dalam pagelaran wayang sebagai media
pengajaran masyarakat supaya hidup sederhana dan selalu memperhatikan kaum yang
lemah.. sebaliknya justru Nadran malah dijadikan sarana untuk berfoya-foya
dengan tidak menghiraukan pendekatan kaum yang lemah. Bahkan sekarang ada
kecenderungan bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari
dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.
Kalau dicermati secara rinci dari sisi
ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali
Bondet, sebenarnya sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini
dikarenakan kegiatan nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga
juga diuntungkan dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi
ekonomi lainnya disamping menikmati hiburan-hiburan yang sedang ditampilkan.
4.2.4 PROSES DALAM
NADRAN
Dalam profesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan
pemotongan kepala kerbau dan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi
tumpeng yang disiapkan dalam sebuah dongdong atau miniatur kapal nelayan.
Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan
perangkat. Sesajen lainnya dilarang ke tengah laut lepas untuk ditenggelamkan.
Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagikan
kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut dengan bancaan atau berkah.
Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian tari-tarian, pergelaran wayang
kulit, mantra, doa-doa dan sesajen.
Sesajen yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak,
yang berupa anjungan berbentuk replika
perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas
dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan kelaut, ancak diarak terlebih dahulu
mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan
berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, bouroq,
barongsai, telik sandi, jangkungan ataupun seni kontemporer (drumband).
Pembacaan mantra dilakukan oleh seorang tokoh spiritual nelayan yang
dilanjutkan dengan mengusung dongdong menuju lautan. Puncak prosesi berlangsung
saat dongdong yang berisi sesaji diceburkan ke laut. Puluhan kapal langsung
berebut mendekati sesaji tersebut. Mereka percaya berbagai sesaji yang menempel
pada kapal mereka akan mendatangkan berkah bagi tangkapan selanjutnya. Selesai
prosesi petarungan dan berebut sesaji, para nelayan ini kembali dengan harapan
baru, mereka yakin hasil tangkapan ikan semakin meningkat setelah ruwatan
selesai dilakukan.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 METODOLOGI PENELITIAN
Tujuan
adanya metode penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
langkah-langkah penelitian dilakukan, sehingga permasalahan penelitian dapat
dipecahkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode
deskriptif.
Menurut
Winarno Surakhmad (2004:139) pengertian metode penelitian deskriptif, yaitu:
“Penelitian deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa
sekarang”. Karena banyak sekali ragam
penelitian demikian, metode deskriptif lebih merupakan istilah umum yang
mencakup berbagai teknik deskriptif. Diantaranya adalah penelitian yang
menuturkan, menganalisa dan mengklasifikasikan, penyelidikan, dengan teknik
survey, dengan teknik interview angket, serta observasi.
Menurut
Prof. Dr. Sudjana , M.A., M.Sc. pada bukunya yaitu Metode Statistika bahwa
populasi adalah Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun
pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua
anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Menurut
Prof. Dr. Sugiyono pada bukunya yaitu Metode Penelitian Pendidikan pengertian
metode peneitian survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu
yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam
pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner, test, wawancara
terstruktur, angket dan sebagainya.
3.2
POPULASI DAN SAMPEL
Menurut
Prof. Dr. Sudjana , M.A., M.Sc. pada bukunya yaitu Metode Statistika bahwa
populasi adalah Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun
pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari
semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Sedangkan
sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi tersebut. Dengan kata lain,
sampel itu harus representatif dalam arti segala karakteristik populasi
hendaknya tercerminkan pula dalam sampel yang diambil.
Populasi
target penelitian ini adalah Desa Mertasinga yang berjumlah 6681 orang warga,
sedangkan sampel penelitian adalah masyarakat Desa Mertasinga.
Salah
satu cara menentukan besaran sampel yang memenuhi hitungan itu adalah yang
dirumuskan oleh Slovin Step (Ellen, ehow Blog, 2010, dengan rujukan Principlrs
and Method of Research; Ariola et al. (eds); 2006). Penetapan sampel dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n
= N/(1 + Ne^2)
(Fathir
Natsir , official blog arsip catatan harian)
Keterangan:
n
= Number of samples (jumlah sampel)
N
= Total population (jumlah seluruh anggota populasi)
e
= Error tolerance (toleransi terjadinya galat; taraf signifikan; untuk social
dan pendidikan lazimnya 0,05) (^2 = pangkat dua)
Sampel
adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Suharsimi Arkunto (2006: 131), “ Sampel adalah
bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
3.3
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Untuk
mendapatkan data-data yang di perlukan, maka penulis melakukan metode
pengumpulan data penelitian dengan cara :
1. Penelitian
kepustakaan yaitu penelitian yang di lakukan dengan jalan menbaca buku-buku
literature yang ada kaitannya dengan pembahasan penelitian ini. Dalam hal ini
penulis menggunakan beberapa cara, yaitu :
a.
Kutipan langsung, yaitu mengutip secara langsung pendapat-pendapat yang relevan
dengan pembahasan penelitian ini tanpa merubah redaksi serta isi dan maknanya.
b.
Kutipan tidak langsung, yaitu mengutip suatu pendapat dengan merubah
redaksinya, ulasan dan uraian-uraian sehingga terdapat perbedaan dengan aslinya
namun maksud dan tujuan yang sama.
2. Penelitian lapangan yaitu mengadakan
penelitian secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data-data konkrit yang
ada kaitannya dengan penelitian. Adapun metode penelitian lapang yang digunakan
meliputi:
a. Metode
angket
Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 194),
sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya yang ia ketahui.
Angket yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis angket tertutup karena diminta untuk memilih salah satu
jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya dengan cara memberikan tanda
silang (x), (Riduwan, 2009:72)
3.4
TEKNIK ANALISIS DATA
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menjawab masalah atau pertanyaan dari
penelitian melalui proses analisis data. Analisis data merupakan bagian dari
proses pengujian data setelah tahap pengumpulan data. Sehingga untuk menjawab
rumusan masalah penelitian ini, maka perlu dilakukan penganalisisan data yang
sesuai dengan masalah penelitian.
Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif, analisis
deskriptif dilakukan dengan menyajikan data-data yang diperoleh dari media
massa elektronik dan cetak serta yang diperoleh melalui pengamatan. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan rumus-rumus statistik antara lain:
Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen), dimana peneliti adalah sebagai instrument
kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal,
teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi.
Peneliti
kualitatif dalam melakukan pengumpulan data terjadi interaksi antara peneliti
data dengan sumber data. Dalam interaksi ini baik peneliti maupun sumber data
memiliki latar belakang, pandangan, keyakinan, nilai-nilai, kepentingan dan
persepsi berbeda-beda sehingga dalam pengumpulan data, analisis, dan pembuatan
laporan akan terikat oleh nilai-nilai masing-masing.
Proses
penelitian kualitatif terdapat 3 tahap, yaitu :
1. Tahap
Deskripsi, yaitu memasuki situasi social : adanya tempat, actor, aktivitas.
Pada
tahap ini peneliti mendeskripsikan apa yang dilihat, di dengar,dirasakan dan
ditanyakan. Mereka baru mengenal serba sepintas terhadap informasi yang
diperolehnya .
2. Tahap
Reduksi, yaitu menentukan focus : memilih diantara yang telah dideskripsikan .
Pada
tahap ini peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh pada tahap
pertama. Pada proses reduksi ini, peneliti mereduksi data yang ditemukan pada
tahap pertama untuk memfokuskan pada masalah tertentu. Pada tahap reduksi ini
peneliti menyortir data dengan cara memilih mana data yang menarik, pnting,
berguna, dan baru. Data yang dirasa tidak dipakai disingkirkan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka data-data tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi berbagai
kategori yang di tetapkan sebagai focus penelitian.
3. Tahap
Seleksi, yaitu mengurai focus : menjadi komponen yang lebih rinci.
Pada
tahap ini peneliti menguraikan focus yang telah di tetapkan menjadi lebih
rinci. Ibaratnya pohon, kalau focus itu baru pada aspek cabang, maka kalau pada
tahap selection peneliti sudah mengurai sampai ranting, daun dan buahnya.
Hasil
akhir dari penelitian kualitatif, bukan sekedar menghasilakan data atau
informasi yang sulit dicari melalui metode kuantitatif, tetapi juga harus mampu
menghasilkan informasi-informasi yang bermakna, bahkan hipotesis atau ilmu baru
yang digunakan untuk membantu mengatasi masalah dan meningkatkan taraf hidup
manusia.
1.
Setelah peneliti memasuki obyek penelitian atau sering disebut sebagai situasi
social ( yang terdiri atas, tempat, actor/pelaku/orang-orang, dan aktifitas),
peneliti berfikir apa yang akan ditanyakan:
2.
Setelah berfikir sehingga menemukan apa yang akan ditanyakan, maka peneliti
selanjutnya bertanya pada orang-orang yang dijumpai pada tempat tersebut.
3.
Setelah pertanyaan diberi jawaban, peneliti akan menganalisis apakah jawaban
yang diberikan itu betul atau tidak.
4.
Kalau jawaban atas pertanyaan dirasa betul, maka dibuatlah kesimpulan.
5.
Peneliti mengoreksi kembali terhadap kesimpulan yang telah dibuat. Apakah
kesimpulan yang telah dibuat itu kredibel atau tidak. Untuk memastikan
kesimpulan yang telah dibuat tersebut, maka peneliti masuk lapangan lagi,
mengulangi pertanyaan dengan cara dan sumber yang berbeda, tetapi tujuan sama.
Kalau kesimpulan telah diyakini memiliki kredibilitas yang tinggi, maka
pengumpulan data dinyatakan selesai.
Kompetensi
peneliti kualitatif :
a.
Memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang pendidikan yang akan
diteliti,
b.
Mampu menciptakan rapport kepada setiap orang yang ada pada situasi social yang
akan diteliti. Menciptaan rapport berarti mammpu menbangun hubungan yang akrap
dengan setiap orang yang ada padda konteks social,
c.
Memiliki kepekaan untuk melihat setiap gejala yang ada pada obyek penelitian (
situasi social)
d.
Mampu menggali sumber data dengan observasi partisipan, dan wawancara mendalam
secara trianggulasi, serta sumber-sumber lain,
e.
Mampu menganalisis data kualitatif secara induktif berkesinambungan mulai dari
analisis deskriftif, domain, komponensial, dan tema cultural/ budaya ,
f.
Mampu menguji kredibilitas, dependabilitas, konfirmabilitas, dan trasferbalitas
hasil penelitian,
Perhitungan skala Likert
Penulis
menggunakan perhitungan skala likert yang digunakan untuk mengukur persepsi,
sikap atau pendapat seseorang atau kelompok mengenai sebuah peristiwa atau
fenomena social, berdasarkan definisi operasional yang telah ditetapkan oleh peneliti.
Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :
Rumus: T x Pn
(Rensis
Likert)
Keterangan:
T = Total Jumlah pengunjung warnet
Pn
= Pilihan angket skor likert
Untuk
mendapatkan hasil interpretasi, harus diketahui terdahulu skor tertinggi (X)
dan angka terendah (Y) untuk item penilaian dengan rumus :
Y
= Skor tertinggi likert x pengunjung warnet
X
= Skor terendah likert x pengunjung warnet
Maka
penilaian interpretasi terhadap perhitungan tersebut adalah hasil nilai yang
dihasilkan dengan menggunakan rumus index % = Total skor / Y x 100
Berikut
Kriteria interpretasi skornya berdasarkan interval :
a.
Angka 0% - 19,99% = sangat tidak setuju
b.
Angka 20% - 39,99% = tidak setuju
c.
Angka 40% - 59,99% = cukup
d.
Angka 60% - 79,99% = setuju
e.
Angka 80% - 100% = sangat setuju
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
5.1 HASIL
5.2 PEMBAHASAN
2.2 Sejarah Tradisi Nadran
Masyarakat Cirebon
Nadran adalah perayaan masyarakat (pesta
rakyat) di daerah pesisir kota Cirebon yang berlangsung setiap tahunnya sebagai
ucapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rezeki yang telah diberikan. Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil
akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara
turun menurun. Kata Nadran sendiri menurut sebagian nelayan Cirebon, berasal
dari kata Nazar yang mempunyai arti dalam agama Islam ; pemenuhan janji. Adapun
inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam
agama Hindu untuk menghormati roh leluhur) kepada penguasa laut agar diberi
limpahan hasil laut, dan merupakan ritual tolak bala (keselamatan).
Dalam upacara Nadran juga dilakukan
permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta tangkapan hasil laut
mereka melimpah di tahun mendatang. Upacara Nadran dilakukan masyarakat nelayan
Cirebon satu tahun sekali yang waktunya jatuh antara bulan Juli sampai agustus.
Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan
dan nilai-nilai budaya lokal. Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk
dipelajari antara lain solidaritas, etis, estetis, kultural dan reliius,
tradisi Nadran dapat meningkatkan persaudaran antar warga desa yang selama ini
dikenal memiliki watak dan karakter yang keras.
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani
Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya
Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya
Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal
pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara
yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu,
memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab.
Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat
Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya
tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu
memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu
ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga
tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai
Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara
sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di
belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi
dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan
sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber
Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah
tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi
ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda,
seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa
kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka
berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui
dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak
dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi,
dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan
hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak
boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah
pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan
memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk
memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam
mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk
ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan
mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala
permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di
tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme,
yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain
dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang
dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air
kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga
Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar
dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu,
masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada
kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan
mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah
penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah
ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk
laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan
jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra
disiramkan pada layar perahu nelayan.
Meskipun Nadran bernuansa magis dan
animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik
terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan
bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
Tradisi-tradisi Nadran setelah
kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada
Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai
sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada
para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan
yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti
dengan pembacaan doa-doa yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi
yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa
dangan simbolisasi pembagian berkah.(Dasuki,1979:1011).
Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap
dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna
pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk
mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga
perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga nampak dalam
pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek
Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang
bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau
lembu) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad
Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah
Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan
Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam
tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan
penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan,
yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang
kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif
(Dahuri,2004:218)
B. Potensi Nadran dalam Meningkatkan Ekonomi
Setiap daerah tentunya sadar bahwa menggairahkan potensi wisata
pesisir seperti Nadran akan berdampak pada peningkatan kondisi ekonomi
masyarakat pesisir. Saat ini tingkat ekonomi masyarakat pesisir pada umumnya
masih rendah, namun masyarakat pada umumnya enggan beralih ke profesi lain
karena mereka menganggap profesi nelayan sebagai amanat yang dititipkan secara
turun-temurun dari pendahulu mereka.
Menjadi tugas pemerintah untuk
mengomptimalkan ekonomi masyarakatnya dengan mengembangkan objek wisata di
daerah pesisir pantai. Banyak ragam wisata yang dapat ditawarkan oleh kawasan
pesisir pantai, mulai dari wisata alam bahari, budaya, sampai wisata kuliner
khas pesisir.
Nadran adalah salah satu faktor yang
menyebabkan menjamurnya objek wisata yang ada di daerah pesisir pantai. Oleh
karena itu selain sebagai upacara tradisi, Nadran juga bisa menjadi aset wisata
yang berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.
C. Nadran Seolah-olah Kehilangan Ruhnya
Nadran sekarang tidak lagi terlihat
sebagai upacara pelestarian tradisi. Namun lebih ke arah sarana hiburan semata
bagi masyarakat. Oleh karena itu Nadran seolah telah kehilangan ruhnya. Ini
terlihat dari banyaknya masyarakat yagn telah mulai meninggalkan pesan-pesan
moral, bahkan hiburan yang menyertai Nadran lebih banyak dalam bentuk campur
sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.
Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, sehingga perlu
kita benahi kembali.
D. Proses dalam Nadran
Dalam profesi pelaksanaannya biasanya
diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng yang
disiapkan dalam sebuah dongdong atau miniatur kapal nelayan. Kepala kerbau
tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat.
Sesajen lainnya diarak ke tengah laut lepas untuk ditenggelamkan.
Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk
lainnya dibagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut
dengan bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian
tari-tarian, pergelaran wayang kulit, mantra, doa-doa dan sesajen.
Sesajen yang diberikan oleh masyarakat
disebut ancak, yang berupa anjungan
berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa,
buah-buahan, makanan khas dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan kelaut, ancak
diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil
diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring,
bouroq, barongsai, telik sandi, jangkungan ataupun seni kontemporer (drumband).
Pembacaan mantra dilakukan oleh seorang tokoh spiritual nelayan yang
dilanjutkan dengan mengusung dongdong menuju lautan. Puncak prosesi berlangsung
saat dongdong yang berisi sesaji diceburkan ke laut. Puluhan kapal langsung
berebut mendekati sesaji tersebut. Mereka percaya berbagai sesaji yang menempel
pada kapal mereka akan mendatangkan berkah bagi tangkapan selanjutnya. Selesai
prosesi petarungan dan berebut sesaji, para nelayan ini kembali dengan harapan
baru, mereka yakin hasil tangkapan ikan semakin meningkat setelah ruwatan
selesai dilakukan.
Mohon dicantumkan sumbernya kak
BalasHapus