Sabtu, 20 Juni 2015



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
          Negara yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya yang berbeda dan mempunyai cirri khas masing-masing yang unik pula, berdasarkan pada kegiatan yang telah terjadi secara turun temurun dan mendarah daging di masyarakat Indonesia. Salah satunya  adalah budaya Nadran (Sedekah Laut) pada masyarakat pesisir pantai di Jawa Barat, merupakan bentuk dari budaya asli masyarakat Indonesia yang telah ada sejak dulu hingga sekarang. Sebagai salah satu warisan budaya nenek moyang.
          Namun di era pesatnya globalisasi saat ini, budaya-budaya local seperti Nadran (SedekahLaut) sangat rentan tersingkir dan hilang dari kebudayaan nasional, diakibatkan banyaknya pengaruh dari budaya-budaya asing yang masuk dan kian hari kian memperburuk kondisi kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada.
          Oleh  karena itu saya ingin menyoroti sebuah tempat di pesisir pantai kota Cirebon yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya lokalnya, khususnya budaya Nadran (Sedekah Laut) yang saat ini hamper dilupakan dan pudar dikarenakan semakinsedikitnya masyarakat yang mengerti dan memahami makna yang terkandung dalam prosesi Nadran yang selama ini hanya dianggap sebagai pesta rakyat tanpa filosofi yang ada didalamnya. Sehingga diperlukan media dan sarana yang memadai untuk   (Sedekah Laut).
          Daerah pesisir panta ikota Cirebon merupakan salah satu tempat yang masih mempertahankan dan melestarikan budaya Nadran (Sedekah Laut), agar kita tidak hanya bisa merayakannya saja tetapi juga tahu akan makna dan filosofinya.
          Upacara sedekah laut ini juga dilakukan oleh masyarakat Indramayu dan Subang. Dalam perkembangannya tradisi upacara Nadran tidak hanya berkembang di masyarakat Cirebon saja.
          Upacara Nadran adalah upacara adat masyarakat pesisir Cirebon untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia dan rizki yang telah diberikan kepada masyarakat setempat. Selain itu, upacara Nadran merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur mereka, kepada penguasa laut agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka. Upacara Adat Nadran dilakukan setahun sekali kisaran bulan Juli s.d. Agustus.
          Nadran memiliki arti janji atau rasa syukur. Nadran berasal dari kata nazar dalam bahasa Arab yang memiliki arti janji. Janji atau rasa syukur masyarakat pesisir Cirebon atas rezeki yang telah dilimpahkan yang maha kuasa kepada mereka. Secara turun temurun, upacara Nadran adalah upacara yang lahir dari akulturasi agama Islam dan Hindu. Perpaduan tersebut menciptakan upacara Nadran.
          Upacara Nadran yang dilakukaan setiap setahun sekali oleh masyarakat Cirebon mempunyai nilai-nilai filosofi yang kuat. Nilai-nilai yang terbangun dari upacara tersebut adalah solidaritas, etis, kultural dan religius yang tercipta dari simbol-simbol yang ada dalam upacara tersebut.
          Nilai-nilai kebersamaan yang ada dalam upacara Nadran ini menjadi sebuah dorongan ke depan untuk membangun masyarakat yang menjalankan nilai-nilai kebersamaan dan kepatuhan terhadap yang maha kuasa.
          Sehubungan dengan hal itu observasi Nadran (Sedekah Laut) ini diharapkan dapat menjadi sumber bacaan yang berguna untuk masyarakat dan generasi muda kita agar lebih mencintai dan melestarikan nilai-nilai budaya yang ada.
1.2  Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah dari penelitian ini :
1. Bagaimana sejarah perkembangan Nadran (Sedekah Laut) di daerah ?
2. Mengapa Nadran (Sedekah Laut) sekarang ini semakin pudar ?
3. Bagaimana cara memelihara Nadran dari arus globalisasi ?
1.3 Keterbatasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.    Objek yang akan di jadikan penelitian ini adalah Desa Mertasinga.
2.    Subyek yang akan di jadikan penelitian ini adalah masyarakat Desa Mertasinga.
1.4 Tujuan
Dalam penelitian ini bertujuan untuk :
1.    Untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang penting mengenai kebudayaan lokal Cirebon.
2.    Untuk mengetahui informasi sejarah perkembangan Nadran (Sedekah Laut).
3.    Untuk mengetahui mengapa Nadran sekarang ini semakin pudar.
4.    Untuk mengetahui cara memelihara Nadran dari arus globalisasi.
1.5 Manfaat
Manfaat teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai informasi dan pengetahuan mengenai Nadran (Sedekah Laut) yang ada di Desa Mertasinga.
Manfaat praktis :
a.       Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai kebudayaan lokal yang ada di Cirebon, khususnya Nadran (Sedekah Laut).
b.      Bagi warga Desa Mertasinga
Sebagai masukan untuk tetap dapat melaksanakan Acara Nadran (Sedekah Laut), khususnya dalam mempererat tali silaturahmi.


BAB II
KAJIAN TEORI
4.1 PENGERTIAN BUDAYA DAN KEBUDAYAAN
            Menurut pendapat Koentjaraningrat (2002: 181) kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang bererti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: “hal=hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budidaya, yang berarti “daya dari budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa itu. Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanyan dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.
            Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan yaitu segala sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Budaya dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang dapat mempengaruhi kehidupan yang damai dan tentram, sejahtera dalam arti bahwa semua dapat hidup sehat di atas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik, ras dan jenis kelamin, tidak mencemari dan merusak lingkungan, tidak meracuni sumber daya alam terbaharukan, yang secara demokratis menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan keinginan. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi, religi,seni dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat budaya digunakan dalam berbagai aspek, antara lain:
1.      Budaya sebagai faktor dalam konflik.
Ketika ada konflik politik, sosial, maka budaya akan muncul sebagai faktor yang harus diakui untuk itu dalam menyelesaikan konflik maka dibutuhkan pengetahuan tentang budaya lokal/setempat, bagaimana  kehidupan beragama, bermasyarakat. Namun perlu dipahami bahwa budaya lokal tersebut seiring dengan perkembangan zaman mengalami interfensi baik internal dan eksternal. Untuk itu perlu disadari bahwa budaya konflik sebenarnya sudah ada sejak dulu, baik antar pribadi dengan pribadi maupun kelompok dengan kelompok.
2.      Budaya sebagai sumber daya untuk perdamaian.
Berbagai tradisi yang baik tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, seperti:Pela Gandong, Ai Wai, Sasi, dan lain-lain. Ada budaya yang dilembagakan seperti: Duan Lolat dalam mengatasi masalah “perkawinan, kelahiran, kematian, pembangunan, dan lain-lain”. Banyak lagi contoh yang perlu kita angkat yang berkembang secara turun temurun dan telah diuji sebagai nilai dan norma yang hidp dan berkembang.
3.      Budaya, komunikasi dan perselisihan.
Bila terdapat perbedaan budaya dalam masyarakat akan menimbulkankonflik. Hal ini dipandang perlu untuk mengembangkan komunikasi antar kelompok yang berbeda agar timbul saling pengertian. Konflik terjadi karena komunikasi tidak ada, maka muncul curiga, iri hati, dendam dan sebagainya.
4.      Kesalahpahaman karena budaya.
Sering terjadi konflik dimana-mana antar etnik yang berbeda budaya, seperti Afrika Selatan antar suku yang berkulit hitam dan putih atau Budaya Barat dan Budaya Timur, Islam dan Kristen, suku dengan suku lain, atau karena tergusurnya orang asli dan pendatang, dan lain-lain.
5.      Hak-hak asasi dan budaya.
Sering kita tidak dapat memahami dan mengerti mana hak-hak pribadi/individu seseorang dan norma, nilai dan hak-hak universal/umum. Sering terjadi pemaksaan keinginan pribadi terhadap kepentingan bersama. Hak-hak pribadi seperti hak untuk hidup yang layak: makan, minum, rumah, pakaian dan lain-lain. Hak-hak umumseperti hak untuk mendapat pelayanan umum seperti: pendidikan, kesehatan, listrik, air, telepon, dan lain-lain. Semua hak itu hendaknya dilembagakan dengan aturan yang jelas agar tidak terjadi konflik.
6. Agama dan budaya.
Agama mengajarkan tentang iman kepercayaan dimana kesadaran manusia akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan manusia serta Alam Ciptaan Tuhan sebagai satu persatuan dan kesatuan antara Tuhan dan manusia. Sering terjadi konflik antara agama dan budaya dimana agama banyak memberi hukuman terhadap pelanggaran berupa non fisik atau hukuman mosil, sementara budaya dan adat istiadat lokal banyak menyoroti hukuman berupa fisik atas sebuah pelanggaran atau konflik. Adanya pengakuan bahwa agam lebih dari segalanya (sekularisasi) seperti Roma sebagai negara agam, Arab sebagai negara agama namun ada juga yang menganggap bahwa budaya adalah yang utama seperti Bali, Suku Badui dan sebagainya, sering terjadi karena adanya anggapan adanya kelompok mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu, regulasi aturan baik tentang batasan agama dan budaya harus jelas dipahami, seperti adanya ajaran tentang “toleransi”.




4.2 SEJARAH TRADISI NADRAN MASYARAKAT CIREBON
            4.2.1 TRADISI NADRAN PRA ISLAM
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan (Prawiraredja,2005:164).
Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
4.2.2 TRADISI NADRAN SETELAH KEDATANGAN ISLAM
            Tradisi-tradisi Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011).
Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.

Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218).
            4.2.3 TRADISI NADRAN DEWASA INI
            Proses pelaksanaan tradisi Nadran di kali Bondet berdasarkan cerita masyarakat setempat dari dulu hingga sekarang adalah sama dan hampir tidak ada perubahan berarti kalaupun ada hanya proses kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan dengan tingkat kemampuan para nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta dilapangan disetiap tahunnya hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya yang berdekatan dengan kali Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan mengelar berbagai hiburan tambahan selain hiburan utama, bahkan para pedagang pun tak ketinggalan dari pintu masuk jalan raya sampai ke pusat kegiatan (biasanya di TPI KUD Mina Waluya Desa Bondet) disesaki berbagai macam para pedagang dan hiburan tambahan lainnya seperti permainan modern.

Menurut Dr. Heriyani Agustina, bahwa dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Ia sering kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral para pendahulunya, terutama tokoh-tokoh Islam dan para pendiri Cirebon yang tersirat melalui simbol-simbol tradisi. Bahkan ketika menampilkan lakon para sufi atau para wali dalam pagelaran wayang sebagai media pengajaran masyarakat supaya hidup sederhana dan selalu memperhatikan kaum yang lemah.. sebaliknya justru Nadran malah dijadikan sarana untuk berfoya-foya dengan tidak menghiraukan pendekatan kaum yang lemah. Bahkan sekarang ada kecenderungan bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.
Kalau dicermati secara rinci dari sisi ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali Bondet, sebenarnya sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini dikarenakan kegiatan nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga juga diuntungkan dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi ekonomi lainnya disamping menikmati hiburan-hiburan yang sedang ditampilkan.
4.2.4 PROSES DALAM NADRAN
            Dalam profesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng yang disiapkan dalam sebuah dongdong atau miniatur kapal nelayan. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat. Sesajen lainnya dilarang ke tengah laut lepas untuk ditenggelamkan.
            Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut dengan bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian tari-tarian, pergelaran wayang kulit, mantra, doa-doa dan sesajen.
            Sesajen yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak, yang berupa anjungan  berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan kelaut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, bouroq, barongsai, telik sandi, jangkungan ataupun seni kontemporer (drumband).
            Pembacaan mantra dilakukan oleh  seorang tokoh spiritual nelayan yang dilanjutkan dengan mengusung dongdong menuju lautan. Puncak prosesi berlangsung saat dongdong yang berisi sesaji diceburkan ke laut. Puluhan kapal langsung berebut mendekati sesaji tersebut. Mereka percaya berbagai sesaji yang menempel pada kapal mereka akan mendatangkan berkah bagi tangkapan selanjutnya. Selesai prosesi petarungan dan berebut sesaji, para nelayan ini kembali dengan harapan baru, mereka yakin hasil tangkapan ikan semakin meningkat setelah ruwatan selesai dilakukan.




BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 METODOLOGI PENELITIAN
Tujuan adanya metode penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang bagaimana langkah-langkah penelitian dilakukan, sehingga permasalahan penelitian dapat dipecahkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif.
Menurut Winarno Surakhmad (2004:139) pengertian metode penelitian deskriptif, yaitu: “Penelitian deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang”. Karena banyak sekali ragam  penelitian demikian, metode deskriptif lebih merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik deskriptif. Diantaranya adalah penelitian yang menuturkan, menganalisa dan mengklasifikasikan, penyelidikan, dengan teknik survey, dengan teknik interview angket, serta observasi.
Menurut Prof. Dr. Sudjana , M.A., M.Sc. pada bukunya yaitu Metode Statistika bahwa populasi adalah Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Menurut Prof. Dr. Sugiyono pada bukunya yaitu Metode Penelitian Pendidikan pengertian metode peneitian survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner, test, wawancara terstruktur, angket dan sebagainya.
3.2 POPULASI DAN SAMPEL
Menurut Prof. Dr. Sudjana , M.A., M.Sc. pada bukunya yaitu Metode Statistika bahwa populasi adalah Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Sedangkan sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi tersebut. Dengan kata lain, sampel itu harus representatif dalam arti segala karakteristik populasi hendaknya tercerminkan pula dalam sampel yang diambil.
Populasi target penelitian ini adalah Desa Mertasinga yang berjumlah 6681 orang warga, sedangkan sampel penelitian adalah masyarakat Desa Mertasinga.
Salah satu cara menentukan besaran sampel yang memenuhi hitungan itu adalah yang dirumuskan oleh Slovin Step (Ellen, ehow Blog, 2010, dengan rujukan Principlrs and Method of Research; Ariola et al. (eds); 2006). Penetapan sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n = N/(1 + Ne^2)
(Fathir Natsir , official blog arsip catatan harian)
Keterangan:
n = Number of samples (jumlah sampel)
N = Total population (jumlah seluruh anggota populasi)
e = Error tolerance (toleransi terjadinya galat; taraf signifikan; untuk social dan pendidikan lazimnya 0,05) (^2 = pangkat dua)
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharsimi Arkunto (2006: 131), “ Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.

3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Untuk mendapatkan data-data yang di perlukan, maka penulis melakukan metode pengumpulan data penelitian dengan cara :
1.      Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang di lakukan dengan jalan menbaca buku-buku literature yang ada kaitannya dengan pembahasan penelitian ini. Dalam hal ini penulis menggunakan beberapa cara, yaitu :
a. Kutipan langsung, yaitu mengutip secara langsung pendapat-pendapat yang relevan dengan pembahasan penelitian ini tanpa merubah redaksi serta isi dan maknanya.
b. Kutipan tidak langsung, yaitu mengutip suatu pendapat dengan merubah redaksinya, ulasan dan uraian-uraian sehingga terdapat perbedaan dengan aslinya namun maksud dan tujuan yang sama.
2. Penelitian lapangan yaitu mengadakan penelitian secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data-data konkrit yang ada kaitannya dengan penelitian. Adapun metode penelitian lapang yang digunakan meliputi:
a.       Metode angket 
Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 194), sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya yang ia ketahui.
Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis angket tertutup karena diminta untuk memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya dengan cara memberikan tanda silang (x), (Riduwan, 2009:72)
3.4 TEKNIK ANALISIS DATA
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab masalah atau pertanyaan dari penelitian melalui proses analisis data. Analisis data merupakan bagian dari proses pengujian data setelah tahap pengumpulan data. Sehingga untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, maka perlu dilakukan penganalisisan data yang sesuai dengan masalah penelitian.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif, analisis deskriptif dilakukan dengan menyajikan data-data yang diperoleh dari media massa elektronik dan cetak serta yang diperoleh melalui pengamatan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan rumus-rumus statistik antara lain:
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen), dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Peneliti kualitatif dalam melakukan pengumpulan data terjadi interaksi antara peneliti data dengan sumber data. Dalam interaksi ini baik peneliti maupun sumber data memiliki latar belakang, pandangan, keyakinan, nilai-nilai, kepentingan dan persepsi berbeda-beda sehingga dalam pengumpulan data, analisis, dan pembuatan laporan akan terikat oleh nilai-nilai masing-masing.
Proses penelitian kualitatif terdapat 3 tahap, yaitu :
1.      Tahap Deskripsi, yaitu memasuki situasi social : adanya tempat, actor, aktivitas.
Pada tahap ini peneliti mendeskripsikan apa yang dilihat, di dengar,dirasakan dan ditanyakan. Mereka baru mengenal serba sepintas terhadap informasi yang diperolehnya .

2.      Tahap Reduksi, yaitu menentukan focus : memilih diantara yang telah dideskripsikan .
Pada tahap ini peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh pada tahap pertama. Pada proses reduksi ini, peneliti mereduksi data yang ditemukan pada tahap pertama untuk memfokuskan pada masalah tertentu. Pada tahap reduksi ini peneliti menyortir data dengan cara memilih mana data yang menarik, pnting, berguna, dan baru. Data yang dirasa tidak dipakai disingkirkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka data-data tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi berbagai kategori yang di tetapkan sebagai focus penelitian.
3.      Tahap Seleksi, yaitu mengurai focus : menjadi komponen yang lebih rinci.
Pada tahap ini peneliti menguraikan focus yang telah di tetapkan menjadi lebih rinci. Ibaratnya pohon, kalau focus itu baru pada aspek cabang, maka kalau pada tahap selection peneliti sudah mengurai sampai ranting, daun dan buahnya.
Hasil akhir dari penelitian kualitatif, bukan sekedar menghasilakan data atau informasi yang sulit dicari melalui metode kuantitatif, tetapi juga harus mampu menghasilkan informasi-informasi yang bermakna, bahkan hipotesis atau ilmu baru yang digunakan untuk membantu mengatasi masalah dan meningkatkan taraf hidup manusia.
1. Setelah peneliti memasuki obyek penelitian atau sering disebut sebagai situasi social ( yang terdiri atas, tempat, actor/pelaku/orang-orang, dan aktifitas), peneliti berfikir apa yang akan ditanyakan:
2. Setelah berfikir sehingga menemukan apa yang akan ditanyakan, maka peneliti selanjutnya bertanya pada orang-orang yang dijumpai pada tempat tersebut.
3. Setelah pertanyaan diberi jawaban, peneliti akan menganalisis apakah jawaban yang diberikan itu betul atau tidak.
4. Kalau jawaban atas pertanyaan dirasa betul, maka dibuatlah kesimpulan.
5. Peneliti mengoreksi kembali terhadap kesimpulan yang telah dibuat. Apakah kesimpulan yang telah dibuat itu kredibel atau tidak. Untuk memastikan kesimpulan yang telah dibuat tersebut, maka peneliti masuk lapangan lagi, mengulangi pertanyaan dengan cara dan sumber yang berbeda, tetapi tujuan sama. Kalau kesimpulan telah diyakini memiliki kredibilitas yang tinggi, maka pengumpulan data dinyatakan selesai.
Kompetensi peneliti kualitatif :
a. Memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang pendidikan yang akan diteliti,
b. Mampu menciptakan rapport kepada setiap orang yang ada pada situasi social yang akan diteliti. Menciptaan rapport berarti mammpu menbangun hubungan yang akrap dengan setiap orang yang ada padda konteks social,
c. Memiliki kepekaan untuk melihat setiap gejala yang ada pada obyek penelitian ( situasi social)
d. Mampu menggali sumber data dengan observasi partisipan, dan wawancara mendalam secara trianggulasi, serta sumber-sumber lain,
e. Mampu menganalisis data kualitatif secara induktif berkesinambungan mulai dari analisis deskriftif, domain, komponensial, dan tema cultural/ budaya ,
f. Mampu menguji kredibilitas, dependabilitas, konfirmabilitas, dan trasferbalitas hasil penelitian,
Perhitungan skala Likert
Penulis menggunakan perhitungan skala likert yang digunakan untuk mengukur persepsi, sikap atau pendapat seseorang atau kelompok mengenai sebuah peristiwa atau fenomena social, berdasarkan definisi operasional yang telah ditetapkan oleh peneliti. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :
            Rumus: T x Pn
(Rensis Likert)
Keterangan:
T    = Total Jumlah pengunjung warnet
Pn = Pilihan angket skor likert
Untuk mendapatkan hasil interpretasi, harus diketahui terdahulu skor tertinggi (X) dan angka terendah (Y) untuk item penilaian dengan rumus :
Y = Skor tertinggi likert x pengunjung warnet
X = Skor terendah likert x pengunjung warnet
Maka penilaian interpretasi terhadap perhitungan tersebut adalah hasil nilai yang dihasilkan dengan menggunakan rumus index % = Total skor / Y x 100
Berikut Kriteria interpretasi skornya berdasarkan interval :
a. Angka 0% - 19,99%   = sangat tidak setuju
b. Angka 20% - 39,99% = tidak setuju
c. Angka 40% - 59,99% = cukup
d. Angka 60% - 79,99% = setuju
e. Angka 80% - 100%    = sangat setuju



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
5.1 HASIL
5.2 PEMBAHASAN
2.2 Sejarah Tradisi Nadran Masyarakat Cirebon
Nadran adalah perayaan masyarakat (pesta rakyat) di daerah pesisir kota Cirebon yang berlangsung setiap tahunnya sebagai ucapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rezeki yang telah diberikan. Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun menurun. Kata Nadran sendiri menurut sebagian nelayan Cirebon, berasal dari kata Nazar yang mempunyai arti dalam agama Islam ; pemenuhan janji. Adapun inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhur) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, dan merupakan ritual tolak bala (keselamatan).
Dalam upacara Nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta tangkapan hasil laut mereka melimpah di tahun mendatang. Upacara Nadran dilakukan masyarakat nelayan Cirebon satu tahun sekali yang waktunya jatuh antara bulan Juli sampai agustus. Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal. Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain solidaritas, etis, estetis, kultural dan reliius, tradisi Nadran dapat meningkatkan persaudaran antar warga desa yang selama ini dikenal memiliki watak dan karakter yang keras.
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama. Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan.
Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
Tradisi-tradisi Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan pembacaan doa-doa yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah.(Dasuki,1979:1011).
Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218)
B.     Potensi Nadran dalam Meningkatkan Ekonomi
Setiap daerah tentunya  sadar bahwa menggairahkan potensi wisata pesisir seperti Nadran akan berdampak pada peningkatan kondisi ekonomi masyarakat pesisir. Saat ini tingkat ekonomi masyarakat pesisir pada umumnya masih rendah, namun masyarakat pada umumnya enggan beralih ke profesi lain karena mereka menganggap profesi nelayan sebagai amanat yang dititipkan secara turun-temurun dari pendahulu mereka.
Menjadi tugas pemerintah untuk mengomptimalkan ekonomi masyarakatnya dengan mengembangkan objek wisata di daerah pesisir pantai. Banyak ragam wisata yang dapat ditawarkan oleh kawasan pesisir pantai, mulai dari wisata alam bahari, budaya, sampai wisata kuliner khas pesisir.
Nadran adalah salah satu faktor yang menyebabkan menjamurnya objek wisata yang ada di daerah pesisir pantai. Oleh karena itu selain sebagai upacara tradisi, Nadran juga bisa menjadi aset wisata yang berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.
C.     Nadran Seolah-olah Kehilangan Ruhnya
Nadran sekarang tidak lagi terlihat sebagai upacara pelestarian tradisi. Namun lebih ke arah sarana hiburan semata bagi masyarakat. Oleh karena itu Nadran seolah telah kehilangan ruhnya. Ini terlihat dari banyaknya masyarakat yagn telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral, bahkan hiburan yang menyertai Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan. Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, sehingga perlu kita benahi kembali.
D.    Proses dalam Nadran
Dalam profesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng yang disiapkan dalam sebuah dongdong atau miniatur kapal nelayan. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat. Sesajen lainnya diarak ke tengah laut lepas untuk ditenggelamkan.
Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut dengan bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian tari-tarian, pergelaran wayang kulit, mantra, doa-doa dan sesajen.
Sesajen yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak, yang berupa anjungan  berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan kelaut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, bouroq, barongsai, telik sandi, jangkungan ataupun seni kontemporer (drumband).
Pembacaan mantra dilakukan oleh  seorang tokoh spiritual nelayan yang dilanjutkan dengan mengusung dongdong menuju lautan. Puncak prosesi berlangsung saat dongdong yang berisi sesaji diceburkan ke laut. Puluhan kapal langsung berebut mendekati sesaji tersebut. Mereka percaya berbagai sesaji yang menempel pada kapal mereka akan mendatangkan berkah bagi tangkapan selanjutnya. Selesai prosesi petarungan dan berebut sesaji, para nelayan ini kembali dengan harapan baru, mereka yakin hasil tangkapan ikan semakin meningkat setelah ruwatan selesai dilakukan.


2 komentar:

  1. Mba saya udah baca sampe selesai tapi belum ngerti.
    kasi tips nya dong biar sekali baca langsung bisa nerti...???

    BalasHapus
  2. Mohon dicantumkan sumbernya kak

    BalasHapus